1
Kau tahu kawan?
Bila mega sudah enggan bercengkerama dengan senja; camar-camar memekik di bawah lembayung lusuh, kemudian hilang tergulung gabak-gabak
hingga senja tak punya warna
Kau menangis dalam riak dingin yang menggerogoti jiwa,
raga,
sukma,
dan segalanya.
Sebenarnya aku ingin mengajakmu menjahit bianglala di bajumu, dengan benang perak dari bintang-bintang: namun sudah entah jadi bangkai atau lenyap atau terbungkus kenangan.
2
Hingga kau bertanya kapan senja akan merona, mengembalikan semua ingatan akan jingga yang dipenuhi ruang dan jarak, mengembalikan sisa gema masa lalu dan semua catatan yang kian berkarat
segala harapan tinggal sisa sekerat, betapa
”Seperti tak lagi kukenal senja itu, kini!” katamu. Aku diam. Menekuri segala yang tersirat dari balik mantel musim dingin yang kau kenakan
”Bahkan saat aku sedang menyelesaikan baris terakhir dari syair mimpi: memang rasanya percuma karena senja begitu membenci penyair.”
Ombak menghempas sunyi yang bernyanyi kian meninggi, menjemput ucapanmu dan mengungsikannya ke luas samudra
Bila mega sudah enggan bercengkerama dengan senja; camar-camar memekik di bawah lembayung lusuh, kemudian hilang tergulung gabak-gabak
hingga senja tak punya warna
Kau menangis dalam riak dingin yang menggerogoti jiwa,
raga,
sukma,
dan segalanya.
Sebenarnya aku ingin mengajakmu menjahit bianglala di bajumu, dengan benang perak dari bintang-bintang: namun sudah entah jadi bangkai atau lenyap atau terbungkus kenangan.
2
Hingga kau bertanya kapan senja akan merona, mengembalikan semua ingatan akan jingga yang dipenuhi ruang dan jarak, mengembalikan sisa gema masa lalu dan semua catatan yang kian berkarat
segala harapan tinggal sisa sekerat, betapa
”Seperti tak lagi kukenal senja itu, kini!” katamu. Aku diam. Menekuri segala yang tersirat dari balik mantel musim dingin yang kau kenakan
”Bahkan saat aku sedang menyelesaikan baris terakhir dari syair mimpi: memang rasanya percuma karena senja begitu membenci penyair.”
Ombak menghempas sunyi yang bernyanyi kian meninggi, menjemput ucapanmu dan mengungsikannya ke luas samudra
3
Hujan terus saja. Namun kau tak henti juga menuliskan baris-baris kemarau: pohon tumbang, kebakaran hutan, atau sungai yang mengering.
Aku memagut sepi yang membungkus raut senja yang kian kelabu, kau putus asa, aku tak bisa
Lantas kita paham: senja tak hilang, seumpama bintang yang pudar di angkasa
Dan bila senja belum juga merona
Kau tahu kawan?
Aku akan genggam kau lalu kita ciptakan warna untuk senja, biar kasih menyelubungi malam, dan gabak bertekuk lutut pada bintang-bintang nirwana
September 23, 2009 at 3:09pm
Hujan terus saja. Namun kau tak henti juga menuliskan baris-baris kemarau: pohon tumbang, kebakaran hutan, atau sungai yang mengering.
Aku memagut sepi yang membungkus raut senja yang kian kelabu, kau putus asa, aku tak bisa
Lantas kita paham: senja tak hilang, seumpama bintang yang pudar di angkasa
Dan bila senja belum juga merona
Kau tahu kawan?
Aku akan genggam kau lalu kita ciptakan warna untuk senja, biar kasih menyelubungi malam, dan gabak bertekuk lutut pada bintang-bintang nirwana
September 23, 2009 at 3:09pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar