Profil

Minggu, 07 Desember 2014

Hari Ini

Habis maghrib nanti kayanya bakal ujan. Padahal ada janji mau makan bareng *uhuk* bareng si Mega sama Wulan sama siapa lagi gatau :v hahaha

Ada pesenan gambar buat kado nikahan temen SMA *aku kapan nikah?* *eak masih lama* yang belum selesai, bingkainya belum beli, sketsanya belum jadi. #bukanurusansaya *lha ganyambung*

Ada deadline cerpen yang mesti direvisi sesuai janjiku pada editor pribadi *eak lagi* Glaucous sama Azurea, cerpen fantasi pertama yang menyenangkan :' Semoga proyek ini cepet kelar dan memuaskan. Semangat untuk Kak Vivi, Farah, Firda, Nudia, Vikma, Suci, dan Dp !! Semangat untuk kita :)

Ada janji lain sama Bu Dyah. Dosen pembimbing yang super *apapun*. Kita ketemu lagi ya bu, jangan sibuk dulu -,-

Ada satu novel yang belum dibaca,satu buku puisi hasil beli online, sama satu novelet yang baru dihabiskan satu bab. Pengen beli novel lagi, tapi mesti selesein pesenan gambar dulu biar punya uang *yea*

Ada rajutan setengah jadi. Baru sepersepuluhnya malah, Lagi males ngelanjutin, Males aja pokonya. Males. Males :v

Ada yang ngilang sejak kemarin. Ah sudahlah, aku juga GAMAU NYARI. Pengennnya dicariin :v *sudah sudah gausah dibahas* *next*

Ada yang belum mandi *oke itu gue*

Ada apa lagi coba? Duh laper ih, Ini hari apasih?

-___-

Rabu, 24 September 2014

Ruang Redam

Sebuah ruang, ssttt.

Sengaja dibuat untuk menyimpan hal-hal tersembunyi Dibangun untuk memendam. Karena tak perlulah kamu, selamanya tahu aku sedang merasa apa.

Di ruang ini aku simpan macam-macam: rindu yang tak tersampaikan, keinginan-keinginan yang tak berkesudahan, dan rahasia. Tentu saja karena ini adalah sebuah ruang yang tak boleh diketahui. Ruang redam, ruang untuk menghindari, atau bolehlah kamu sebut sebagai ruang untuk pelarian.

Suatu hari nanti kamu akan bosan mendengarku mengeluh, marah-marah, menangis. Suatu hari nanti akan ada dua sisi yang berseberangan. Jadi, aku siapkan ruang ini untuk meredam. Untuk kemudian kusimpan setiap kekesalan, emosi, lirih, dan cinta yang rumit. Di sini. Di ruang redam aku jejalkan apa-apa yang tidak kau inginkan dariku, meski kau tak pernah mengucapkannya. Aku sadar diri, aku begitu menyebalkan.

Terlalu menyebalkan.

II

...

II

Kukira kau tak ada
tapi di sudut dinding memang kau tak ada
tinggal bangku-bangku kehilangan debu
dua gadis di meja tipis seolah resepsionis
yang menunggu tamu datang lagi
tapi yang ada
hanya helai rambutmu yang tertinggal
(setengah hitam)

Kukira kau tak ada
ketika lampu-lampu seperti cuaca
seperti malam yang hanyutkan tubuhku
semakin dekat sayang
tapi kau semakin menghilang

...


Dari puisi karya Eka Pranita Dewi, Malam di Kartika Plaza
100 Puisi Indonesia Terbaik 2008

Kamis, 28 Agustus 2014

Sekedar Pengingat Diri

Langit yang menguning, kemerahan, kemudian berubah keunguan.

Sesuatu yang sangat indah terkadang hadir sebentar saja. Eksklusif, begitu kita menyebutnya. Tuhan memberi kita waktu di antara sore dan malam. Kita menyebutnya senja, saat-saat paling menakjubkan yang terjadi di langit, dengan parade warna yang luar biasa. Brilian, aku menyebutnya demikian.

Mungkin banyak pula yang berharap senja tak pernah habis, tak perlu tergantikan malam. Sekarang begini, bukankah jika senja berakhir sedemikian rupa, Tuhan menjanjikan langit lain yang sama indahnya? Malam-malam saat bintang menetas satu persatu, bulan yang bersih, udara yang menghangat, dan langit yang teduh.

Pun, jika langit tampak terlindungi oleh kumpulan awan mendung, kemudian meneteskan hujan yang selalu jatuh tanpa pamrih, membasahi setiap dataran, Tuhan menjanjikan keteduhan lain lewat hujan yang kerap memuat banyak doa. Semakin deras hujan, terkadang membuat hati kita semakin teduh. Semua rasa bertemu di satu titik yang tenteram.

Saat malam berakhir, dan waktu subuh datang. Tuhan menambahkan nikmat kesejukkan lewat udara dan uap air, lewat embun, lewat kumandang adzan Subuh. Dan banyak dari kita, bahkan juga diriku, terkadang lalai atas nikmat yang satu ini.

Begitu pula saat pagi, siang, sore, dan kemudian kembali lagi pada senja yang brilian. Tuhan selalu menjanjikan yang terbaik, terindah, dan teristimewa untuk kita. Tanpa kita sadari. Sekarang tergantung bagaimana kita mencerna setiap nikmat yang diberikan. Susah dan senang, semua punya sisi baik.

Tuhan selalu menjanjikan kemudahan dibalik setiap kesusahan.

*

Sepi

sepi adalah ketika aku naik angkutan umum, sendirian. tanpa harus terperangkap dalam percakapan yang kerap kali aku hindari. menikmati perjalanan sendiri, tanpa perlu mengeluh pada siapa pun karena kemacetan yang parah. aku sendirian untuk menikmati. terkadang orang perlu membayar sangat mahal untuk sebuah kesendirian.

sepi adalah ketika aku harus mengerjakan hal-hal yang sesungguhnya hanya aku yang ingin lakukan. menggunting sisa-sisa kertas, menggambar apa saja untuk kemudian kutempel di dinding atau langit-langit kamar, menulis berlembar-lembar kalimat, mengunyah coklat, mengurung diri di kamar selama berjam-jam. sepi adalah kreativitas.

sepi adalah saat aku harus dengan sengaja pergi ke perpustakaan. mencari tempat di sudut dan melakukan apa saja yang mungkin di situ. menulis sambil mendengarkan lagu melalui headset, blogwalking, meng-update setiap status di setiap medsos, stalking, minum banyak air hingga berulangkali ke kamar kecil, dan menghabiskan tissue.

sepi adalah ketika aku mengecek notification dan tak menemukan apa-apa, menunggu pengumuman lomba menulis, mengunduh gambar-gambar untuk wallpaper desktop, dan menunggu  seseorang. sepi adalah saat aku membiarkan hatiku menunggu, kemudian tersenyum sendiri saat seseorang itu datang melalui pesan singkat.

sepi adalah saat aku sengaja mencari-cari kegalauan untuk menyempurnakan rindu. menghirup aroma hujan banyak-banyak, kemudian menikmati bias cahaya lampu setelah reda, dan memerhatikan lalu-lalang orang-orang dari tempatku duduk berdiam sampai senja habis sendiri.

sepi adalah saat aku diam-diam berdoa dan menyebutkan sebuah nama berulang kali, menangis tanpa meninggalkan jejak, kemudian menenggak segelas air putih dengan barbar.

sepi adalah sesuatu yang sengaja kubuat untuk menyempurnakan apa yang sedang ingin aku lakukan. menangis, menunggu, merindu, semacam itu. sepi adalah sekarang.

*

Jumat, 25 Juli 2014

manis

manis,

aku pernah takut rindu yang kupunya akan mencemari hidupmu, jadi sebagian rinduku kukerjakan dalam diam.
merindukanmu adalah pekerjaan menyenangkan.

aku tahu ada banyak rindu untukmu yang bukan hanya dariku. aku tahu mungkin ada yang juga diam-diam merindukanmu. aku bisa apa? pekerjaan menyenangkan seperti itu siapa yang tidak mau?

manis,

aku ingin kamu tidak lagi merasa bersalah. pun kamu tak mesti lagi merasa perlu meminta maaf. kamu sudah selesai dengan gundahmu.

lihat! ia baik-baik saja. kini ia baik-baik saja. sudah tidak apa-apa.
karena aku juga akan menjaganya. aku akan menjaganya, manis. kamu tak perlu.

hatiku,
itu saja yang perlu kamu jaga.

***


Minggu, 08 Juni 2014

tentang jarak

jarak
dijaga
dekat

jarak
dirasa
jauh

jarak
memisahkan
satu
dengan
dua

aku
dengan
kita

kamu
dengan
rasa

jarak
bisa
saja
menyelamatkan

bisa
juga
mempermainkan

tentang jarak,
kamu pergi pada jarak
aku juga menunggu dalam jarak

jarak
selalu
benar

sebagaimana cinta

jarak tidak pernah pergi
kamu yang pergi.


meditria, 2014. ini cuma puisi. spontan.


Senin, 02 Juni 2014

Sekian waktu yang lewat dan beratus hujan yang turun

1
Aku ingin pergi sejenak
Mengucapkan selamat tinggal pada kamarku
Kemudian menjemput hujan sebentar
Hujan adalah tempatku bersembunyi
Aku dan matahari sama-sama bersembunyi

Karena matahari, kau tahu
Tidak pernah benar-benar berjanji untuk menjadi
sedikit abadi
Tidak juga embun, ia kering selepas pagi
Sebagaimana tidak juga cinta, ia kering selepas sakit

2
Di kota ini hujan selalu datang
Membawa kisah-kisah zaman dulu karna aromanya
sanggup menghidupkan kembali setiap kenangan
Seorang ibu ingat anaknya, seorang anak ingat pacarnya
Seorang pacarnya menghilang, mungkin juga bersembunyi

Hujan itu,
membuat lebih banyak lagi tempat untuk bersembunyi

3
Pernahkah mendengar kisah tentang hujan?
Ia memuat banyak doa yang sebagian belum selesai
Tentang cinta yang belum selesai
Tentang kisah yang terpaksa selesai

Kisah kita tidak selesai
Cinta kita juga tidak selesai
saat hujan, saat musim apa pun

4
Suatu hari nanti akan kita saksikan segalanya baru
Aku yang baru, kita yang baru
Kita yang baik-baik saja
Aku dan keluargamu yang baik-baik saja
Meski terkadang segalanya menuju separuh
Skeptis

Pahit dan manis bersatu dalam air hujan
Kenangan dan kenyataan bersatu dalam air... ya.

5
Namun tetap saja akan ada aku yang baru
Aku yang lebih baik dari serampangan sekarang
Sekarang aku bisa menangis dan kamarku
akan menyimpan lebih banyak lagi hujan

Lubang-lubang lagi dan bersembunyi lebih lama lagi

6
Aku bisa mengenakan baju musim dingin
milikmu, yang sudah tak berbau
Sungguh aku bisa saja melakukan apa pun di kamar ini
untuk membuat segalanya lebih baik

Setiap orang punya kesedihan yang tak ingin dibagi
Semakin sakit semakin berlubang
Semakin bersembunyi

Dan hujan semakin tak berkesudahan

7
Dengan hujan dan ritual yang sama
Aku bisa saja mengeja bayanganmu dalam lubang-lubang lain
Mengingat setiap detail wajahmu, membaca pesanmu berulang-ulang
Merindukanmu akan selalu tenteram jika hujan turun

Hingga terkadang aku bersyukur karena matahari
tidak pernah benar-benar berjanji
Ia juga mungkin punya kesedihan yang tak ingin dibagi
Dan terus bersembunyi
Terus...

8
Hingga segalanya baru
Baru... apa terasa sebegitu...
Bagaimana aku harus mengatakannya?

Saat ternyata benar tiba masanya
Dan kabut pergi, bersembunyi
Apa yang akan kau katakan saat ternyata tidak ada kita
di sana

9
Kamu tahu, aku ingin menjadi apa pun asal bisa bersamamu
Aku mau jadi seperti apa pun meski susah
Meski aku terus saja menyimpan hujan dalam kamarku
Aku menjemput hujan... untuk kemudian kusimpan

Karna mungkin suatu hari nanti hanya akan ada matahari
Aku tidak perlu khawatir karena aku punya hujan
di sini
Dan selalu ada kita di sini

10
Tidak ada yang pasti dengan nanti
Tidak ada yang tahu bahkan hujan pun belum tentu akan selalu turun

11
Terkadang kita merasa haru karena hal kecil
Sepele saja, rindu juga lekat dengan haru
Saat bersembunyi segalanya berdekatan bukan?
Berkaitan: sepi sunyi rindu sendu dan segala sesuatu
yang kubuat sendiri

Cinta itu apa?

12
Aku ingat apa kata Soe Hok Gie
"Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui."

Benar, sayang-ah rasanya ajaib memanggilmu sayang-
Benar, nanti kita akan tahu bagaimana jadinya
Meski aku takut untuk memikirkan apa pun jadinya
Dan lagi-lagi bersikap skeptis

Tidak, sayang.
Aku tidak akan pergi ke-mana-pun
Jika aku menghilang, aku hanya bersembunyi pada lubang
yang sedikit lebih dalam

13
Sekian perjalanan dan beratus hujan yang turun
Aku hanya mengeja namamu
Aku hanya merindu dirimu

Sekian waktu yang lewat dan beratus hujan yang turun
Aku mendoakan kita
Aku berusaha memantaskan diri
Aku menangis diam-diam
Aku mengeluh
Aku sesak dan bersembunyi

Sekian ritual yang sama dan beratus hujan yang turun
Aku bermimpi dan berharap
Semoga hujan tidak pernah selesai
Dan kita tidak berakhir
Pada musim apa pun
Di lubang mana pun

14
Lewat hujan yang datang beraturan
Aku ingin pastikan hatimu baik-baik saja ada di sini
Hati yang selalu mengingat bagaimana kita bermula

Dan ternyata selama ini aku bersembunyi dalam lubang-lubang hatimu
yang hangat, sehangat tanganmu saat menyentuh pipiku yang ranum
Saat malam-malam sehabis hujan

15
Lewat doa dan hujan yang turun
Aku pastikan dan semoga kamu demikian

Bahwa aku tidak akan menyerah untuk kita
Aku tidak akan menyerah untuk kita
Aku tidak akan menyerah untuk kita
Aku tidak akan menyerah

Aku tidak akan menyerah

Aku tidak menyerah


Aku tidak.


16
Aku benar menyayangi.


Say Something - A Great Big World ft. Christina Aguilera (Boyce Avenue f...


sedih :'

Senin, 26 Mei 2014

.....................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................mute.

Mencintai Sejantan Ali bin Abi Thalib (Kisah Cinta Ali - Fatimah)

Dari sini aku bagikan sesuatu:
Kisah paling romantis di dunia :”)
Kisah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.

Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.

”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.

Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.

”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

”Entahlah..”

”Apa maksudmu?”

”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,

”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. 

’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).

Sabtu, 17 Mei 2014

bukan palindrom

5.52

bukan palindrom namanya, seandainya ada jam 25.
berarti bertambah dua jam lagi dalam sehari semalam. bertambah dua jam lagi saat merindu. bertambah dua jam lagi hujan yang singgah. bertambah dua jam lagi musim-musim mendingin. segalanya bertambah dua jam, malam semakin larut. pagi semakin kuyup.

5.52

pukul segini hujan berhenti, menyisakan rimis tipis. menyisakan aroma basah.
seandainya ada jam 25, segalanya bertambah dua jam. dua jam untuk sepi atau menangis sendiri. yang lain menikmati dua jam yang datang tanpa merasa sesak nafas.

dua jam saja.

namun begitu berbeda. sedih akan berlarut hingga dua jam. matahari lebih lama enggan bernyanyi di langit sendiri. senang sekarang, bertambah juga? bukankah waktu selalu terasa sedikit saat bersenang-senang?
mungkinkah 25 itu? dua jam itu?

jika mungkin aku akan lebih lama lagi menunggu. jika tidak aku tetap saja merindu. penyakit sesak nafas saat hujan turun dan terasing dari orang lain. pojok dramaga selalu menyimpan aku dan taman kanak-kanak yang kubuat sendiri dalam kepalaku.

hanya di sana ada 25. di sini tidak. di sini bukan palindrom.


2014, nunggu jemputan, syukurlah tidak bertambah dua jam  :)

selamat datang, zafina ;)

lagi bobooo heheh, baru lahir hari ini tapi belum dijenguk ayahnya wkwk

nanti ya, ayah bilang bakal gendong-gendong, tunggu saja ya nak ;3 mhihii

Senin, 05 Mei 2014

mana yang lebih menyiksa

mana yang lebih menyiksa, metode statistika atau cinta?
katamu.

mungkin dua-duanya sama menyiksa. dan bohong rasanya jika aku tidak melihat atau pura-pura tidak tahu. aku merasa aneh, seperti diteriaki maling dari jarak sedekat kuping. kita diuji dengan hal yang serupa, dengan kapasitas yang berbeda. kamu tegar, aku mencoba untuk itu. kamu ikhlas, aku belum mampu untuk itu. aku ini harus merasakan dulu yang namanya remidial.

mana yang lebih menyiksa, metode statistika atau cinta?
katamu.

mungkin keduanya sama-sama sanggup memelintir perut. kamu bisa merasakan sakit lewat aku. aku mengenal apa itu luka lewat kamu. mengapa kita begitu serupa, atau hanya aku yang terlalu mengada-ngada? tapi bukankah masing-masing dari kita juga mengenal metode statistika?

mana yang lebih menyiksa, metode statistika atau cinta?
katamu.

keduanya mungkin serupa. kamu tahu, untuk menemukan aku juga harus lebih dulu melepaskan. perpisahan itu selalu memikul satu pertemuan lain, kan? bahkan boleh jadi lebih dari satu. aku bertemu denganmu dan dengan dia. laki-laki yang memelihara hati, namun juga memelihara luka. hatiku, lukamu. dari situ kita masuk dalam fase remidial. dari situ kita belajar memperbaiki, bukan? kita bertiga.

apa yang kamu buat selama ini begitu luar biasa. metode statistika mengajarkan tentang peluang, tentang sebuah kesempatan. aku bilang sebenarnya kamu selalu punya kesempatan untuk membenci, tapi tidak kamu lakukan. aku juga punya kesempatan untuk menjauh, tapi tidak aku lakukan. mungkin karena kamu begitu baik jadi aku tidak takut untuk mendekat. dan mungkin karena cinta memberikan peluang untuk peduli lebih besar dari seharusnya. dan kamu selalu luar biasa, lebih lebih dari metode statistika.

kemudian sekali lagi,
mana yang lebih menyiksa katamu. mungkin tidak keduanya kataku.


2014, kupinjam statusmu ya :)

Senin, 21 April 2014

bebal

jika bumi adalah ibu, kita manusia memperkosa ibunya.
setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik.

jika laut adalah ibu, kita manusia memperkosa ibunya.
setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik.

jika hutan adalah ibu, kita manusia memperkosa ibunya.
setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik.

ada tak ada manusia mestinya pohon-pohon itu tetap tumbuh.
ada tak ada manusia mestinya terumbu karang itu tetap utuh.
ada tak ada manusia mestinya pohon-pohon itu tetap tumbuh.
ada tak ada manusia mestinya terumbu karang itu tetap utuh.


bebal, sisir tanah.

lagu yang luar biasaaaaaaaa !! bisa didengarkan di sini :)

lagu wajib

yang wajib dari hujan, adalah basah. yang wajib dari basah, adalah tanah. yang wajib dari tanah, adalah hutan. yang wajib dari hutan, adalah tanam. yang wajib dari tanam, adalah tekad. yang wajib dari tekad, adalah hati. yang wajib dari hati, adalah kata. yang wajib dari kata, adalah tanya. yang wajib dari tanya, adalah kita. yang wajib dari kita, adalah cinta. yang wajib dari cinta, adalah mesra. yang wajib dari mesra, adalah rasa. yang wajib dari rasa.......


.......adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka. adalah luka.......


lagu wajib, sisir tanah.
terima kasih siti chaakimah :)

lagu bisa didengarkan di sini :)

Sabtu, 05 April 2014

Sampai

Mungkin cinta adalah sesuatu yang gaib sehingga tak mampu dilihat oleh indera. Mungkin juga menganut hukum kekekalan energi sehingga tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan.

Cinta hanya berpindah, teralihkan, terabaikan, berpindah lagi, teralihkan lagi... kemudian sampai.

S.a.m.p.a.i.

Sebentar

Sebentar.

Sejak pertama kamu membaca itu—membacakannya untukku, aku ingin ke sana. Ingin pergi ke sana bersama-sama.  Sebenarnya aku takut untuk berharap, tapi kupikir mungkin tidak ada salahnya.

Jadi aku mulai berkhayal tentang hari Sabtu yang kuhabiskan denganmu. Atau hari Jumat pun tak apa meski terasa ganjil. Aku hanya ingin pergi dan bersama kamu mungkin akan menjadi sesuatu yang bagus.

Aku mulai sibuk menyisihkan uang, melihat kalender berulang-ulang. Mencari tahu apa pun tentang pertunjukkan itu, bahkan berbincang dengan teman-temanku bahwa aku akan pergi ke sana. Aku mulai sibuk memikirkan akan memakai baju yang mana, bagaimana dengan sepatunya? Apa uangku sudah cukup? Dan sebagainya.

Tapi sebentar, tunggu sebentar. Aku membuat sebuah kesalahan fatal.

Aku lupa bahwa aku mencintai seseorang yang berbeda. Aku tidak menyadari bahwa kamu memiliki lingkaran yang sulit untuk kupahami. Semantap apa pun saat aku berkata “aku akan mengerti”, rasa sakit datang tanpa peduli dan empati.

Kemudian aku tidak ingin kamu tahu bahwa aku kecewa karena keputusan ini. Namun, aku juga ingin kamu mengetahui bahwa rasa sakit datang malam tadi. Jadi aku menangis. Menangis karena aku begitu ceroboh sehingga mencelakai hatiku sendiri.

Sebentar, jangan salahkan dirimu. Mungkin kamu juga berharap bahwa aku akan mengerti, jadi saat kamu tahu aku tidak bisa mengerti… mungkin kamu juga kecewa dan sakit.

Mungkin kita hanya butuh waktu untuk sendiri, meski aku tetap saja memikirkanmu. Dan aku tidak bisa tidak menghubungimu, mengecek status WhatsApp-mu, dan kecewa jika kamu menghilang. Aku merasa diabaikan, meski sebenarnya kamu tidak bermaksud seperti itu.

Sekarang saatnya aku menekan perasaanku, bukan sebaliknya. Tapi aku takut jika jarak yang ada akan terasa lebih jauh. Aku telah terbiasa dengan segala yang kita jalani selama ini. Dan aku takut untuk membatasi rasa yang kupunya, aku takut. Sebenarnya aku tidak perlu terlalu merindukanmu karena toh kamu juga tidak terlalu peka terhadap rasa. Aku minta maaf jika kamu tersinggung.

Aku gagal memahami setiap detail kepalamu, yang seperti labirin. Aku tersesat di tikungan mana pun dan tak ada jalan pulang. Seharusnya aku bisa menemukan jalan dari setiap persoalan ini.

Sebentar.

Rasanya aku melupakan sesuatu. Ya, sebentar. Aku...

...Mulai berpikir bahwa segala sesuatunya diciptakan oleh persepsi otakku sendiri. Kita baik-baik saja. Namun hatiku berkali-kali menolak itu dan otakku berusaha mencari alasan logis untuk membenarkan apa-apa yang dirasakan. Aku pecundang.

Kenapa? Kenapa selalu seperti ini. Rasanya ingin pergi jauh dan mengucapkan selamat tinggal pada kamarku. Pada Hikari dan kedua lainnya yang masih saja bertengger di atas kabinet plastik. Aku mau pergi ke masa-masa setelah ini, jauh setelah perasaan ini.

Hari di mana aku bisa berteriak sekencang mungkin bahwa aku menyayangimu. Hari di mana aku tidak perlu bersusah-susah mencarimu karena kamu adalah bagian dari diriku. Hari di mana aku bisa menekan balik perasaanku dan lega karena aku terbebas dari sesak nafas.

Kemudian aku bisa menembus lingkaranmu, memahami labirinmu, dan menemukan lebih banyak lagi hari Sabtu.

Tapi... Sebentar... Sebentar.

Sayang, apa selama ini aku sudah cukup berjuang?

Selasa, 01 April 2014

tidak.

tidak benar-benar terucap, tidak benar-benar terwujud, tidak benar-benar ada, tidak benar-benar datang, tidak benar-benar tumbuh, tidak benar-benar bernama.

tidak.

rasanya

rasanya,

berkumpul bersama banyak orang yang menerima kita tanpa banyak bertanya, tanpa banyak mengomentari apa pun yang melekat pada kita, yang menerima dengan tangan terbuka dan tertawa selepas-lepasnya, menertawakan hal remeh temeh dan berbagi tanpa banyak protes. tanpa tersinggung. tanpa jarak. tanpa syarat,

rasanya,

aku bahagia :)

Minggu, 23 Maret 2014

Monkey Majik - If


Suka :)

Samudera dan Teluk

Cinta tidak pernah salah. Penulis novel atau penyair manapun akan setuju dengan itu, bahwa cinta selalu benar. Cinta dapat menggabungkan dua sifat yang berbeda untuk menjadi campuran yang homogen, menjadikan dua hal yang berlainan untuk membentuk kombinasi yang luar biasa. Seperti menaburkan bubuk kacang pada eskrim coklat, atau menggabungkan warna hitam pekat dengan merah muda yang lembut.

Bagiku, kita adalah kombinasi paling unik yang pernah ada. Seperti penggabungan antara samudera yang teduh dengan teluk yang ramai. Yah, semacam sanguinis-melankolis. Aku bersyukur untuk itu, bukankah perbedaan adalah hal yang paling indah dari cinta?

“Cinta seperti apa yang kau harapkan? Rama dan Sinta? Lupakan!” Aku teringat perkataan temanku. Ia benar, aku bukanlah Rama. Aku Rahwana. Aku yang merampas Sinta dari tercintanya, aku adalah seorang pencuri. “Selamanya Sinta tidak akan bersama Rahwana, kawan.”

Aku benar-benar terjebak dalam rasa yang membuatku nyaris meledak. Aku mencintaimu, cinta tidak pernah salah, kan? Namun, mengapa segalanya membuatku seakan-akan menjadi seseorang yang paling kejam? Bukankah Rahwana dan Sinta bisa menjadi kombinasi yang luar biasa?

“Dia bersama orang lain. Lupakan saja.” Lalu aku harus bagaimana? Merindukanmu dalam diam? Kemudian mengirim perahu-perahu dari samuderaku untuk menuju teluk, untuk singgah membawa perasaan rindu yang tak tersampaikan ini?

Aku nyaris meledak.

Selasa, 11 Maret 2014

Momiji 2

seperti yang sudah-sudah
aku merayakan kesendirian di sini, di taman ini
aku belum mau pulang ke kenyataan

darahku berdesir, mungkin akan keluar dari setiap pepori
yang mengelupas oleh cuaca
seperti kulit batang pohon jambu merah

mataku liar membaca jalanan
menatap lurus paving blok yang berlumut
berharap ada sedikit kehidupan di situ

sekarang sudut taman ini terasa mati
mati semua, burung-burung juga hampa
lantai pualam yang kusam, dinding kapur

gema suaramu memantul
aku semakin merindukan kenyataan
tapi aku terjebak di sini, tidak bisa ke mana pun

aku rasa kepalaku akan pecah
bola mataku juga, terlalu perih
mungkin pembuluh darahku sedang mendidih
ketakutan

aku bisa menenggak beberapa amitryptiline
kemudian tertidur sebentar dengan suhu badan yang tinggi
tapi saat terbangun, aku masih ada di taman ini

bawa aku kembali
di sini musim gugur mematikan setiap nafas
merenggut nasib dan harapan tinggal sekerat
aku takut

aku lupa jalan pulang
Momiji mengering, terbakar sendiri
aku lupa jalan pulang
Momiji mengering, terbakar sendiri

di manakah namamu?
di sela pokok cemara tidak ada bulan sabit
di dekat semak hanya ada ilalang

di manakah namamu?
mengapa hilang dari taman ini?
atau aku yang terlalu jauh pergi?

bawa aku kembali
di sini hanya ada seringai
semakin malam musim gugur mulai berubah

bintang hadir, lalu pecah di atas kepalaku
anak-anak tupai berlarian mencari lubang
hatiku juga berlubang

semuanya berlubang
Momiji tak lagi menutupi
mereka terbakar sendiri

dan aku lupa jalan pulang
bawa aku kembali
bawa aku ke pagi-pagi



2014.


Senin, 10 Maret 2014

Momiji

mo, kalau nanti ada yang tanya aku di mana,
bilang saja aku pergi ke taman.

kalau ada ya, soalnya mungkin saja tidak ada
aku ke taman sendirian dan disambut musim gugur
di sini sepi, sejumput rumput ditutupi Momiji
pada Momiji itu, mo, aku bisa tuliskan apa saja
kau mau aku tuliskan namamu?

aku dikutuk dalam keramaian, mo
jadi rasanya sangat nyaman berada dalam kesendirian ini
kau juga, singgahlah kemari kapan-kapan
biar kita berdua bisa bersama-sama menyendiri
musim gugur mungkin tak akan lama, mo

di sini sepi, dan sendu
dan semua tampak mengeluh karena matahari terlalu malu-malu
burung gereja berkicau sendiri-sendiri, di bawah pucuk cemara
musim hujan kemarin menyisakan banyak lubang, mo
namun ditutupi Momiji

kenapa Momiji itu terlalu suka jatuh, mo?
mereka gugur untuk siapa?
dan... siapa yang peduli?
mereka gugur untuk menutupi kubangan
benarkah?

mo, kapan singgah kemari?
mungkin musim gugur tak akan lama lagi berakhir
di sini kita bisa memutar Gloomy Sunday sepuasnya
atau menonton berlusin film horor
atau Conjuring, mo

di sini sepi
aku masih merasakan pahitnya rasa pil yang kuminum pagi ini
jadi rasanya sepi dan pahit
apa Momiji peduli perasaanku, mo?

kamu di mana?
musim gugur bisa saja berakhir, mo
sebentar lagi


2014, mo baca ini ya :)

Minggu, 09 Maret 2014

Puisi dan Bunyi

tentu tidak usah memaksudkannya sebagai pembicaraan tentang hakikat puisi bagi kehidupan kalau sekarang kita bertanya, 'Untuk apakah puisi ditulis?'. puisi, yang dilisankan sebelum kita mengenal aksara, dan tentu 'hanya' berupa bunyi, kini telah berubah menjadi benda visual yang ruang geraknya telah berpindah-pindah mulai dari berbagai lembaran dan lempengan untuk menulis sampai ke koran bahkan ke layar komputer. masing-masing memerlukan proses yang berbeda-beda.

***

ketika kita membicarakan puisi, perangkat sastra yang kita singgung-singgung adalah, antara lain, rima, alterasi, asonansi, irama, dan repetisi--semua berkaitan dengan bunyi.

kalau kita membicarakan fiksi, umumnya bukan itu yang menjadi sorotan diskusi kita. dibanding dengan genre lain, puisi tampaknya memang masih bersandar ke bunyi: dari pantun sampai ke tembang yang rumit tatacara penulisannya,

puisi tetap tunduk pada hakikat kelisanannya, yakni bunyi.


Sapardi Djoko Damono

Sitok Srengenge

Saya kenal beliau dari buku antologi puisi pertama yang saya punya. Di sana ada sekitar tiga buah puisinya yang masuk dalam nominasi 100 puisi Indonesia terbaik 2008 (author: Anugerah Sastra Pena Kencana). Betul, saya mengenal beliau hanya sebatas tiga puisi karyanya yang saya sukai. Ketiganya adalah Lembah Lantana (Kompas, 26 Agustus 2007), Lukisan Perempuan (Kompas, 26 Agustus 2007), dan Ruang Singgah (Kompas, 26 Agustus 2007). Dan kebetulan, beliau juga merupakan juri dalam program penganugerahan ini, bersama dengan Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, Apsanti Djokosujatno, Ahmad Tohari, Joko Pinurbo, dan Jamal D. Rahman.

Dan ketika sebuah link tentang kabar kasus yang menimpa beliau, saya setengah tidak percaya. Betapa tidak, seorang budayawan dan penyair terkenal...? Baiklah, memang tidak ada yang tidak mungkin. Saya juga tidak berpihak pada siapa pun. Hanya saja, begitu amat disayangkan jika memang beliau berbuat seperti itu. Dan dari apa yang saya baca, modusnya menggunakan sajak-sajak yang beliau punya. Korban yang ia dekati memang mengaku menyukai sajak-sajak karya beliau. Dan begitulah.

Nah, kan? Betapa puisi atau sajak atau prosa atau mahakarya sastra lainnya begitu memiliki pengaruh yang kuat, terutama dalam kasus ini. Dan beliau telah salah menggunakannya. Siapa sih yang tidak kagum pada penyair terkenal? Penyair yang selama ini sudah menulis banyak sekali karya luar biasa? Budayawan yang dihormati? Aktivis yang telah terlibat dalam banyak kegiatan sastra?

Namun bagaimana pun, sebuah sajak tidak berhak untuk disalahkan. Benar?


Dan ini salah satu puisi karya beliau:


Lembah Lantana

Barisan pokok jati, gelepar angin dini hari,
tanah mengurai cahaya, lenguh lembu betina
Lidah fajar menjilam pelupukmu terpejam,
ekor mimpi tersangkut di rumbing rambut

Dedahan mendedah kelambu kabut,
dalam igau namaku kausebut

Kuhasratkan arus deras dalam tubuhmu yang cadas
demi kularung mimpi-mimpi boyak serupa perahu masa kanak

Bila musim merentang lengan dan langit terpana parasmu yang sentosa,
pinggangmu penuh bunga, burung-burung akan kembali,
bebatang ranggas menolak mati

Di lekuk liku lukamu, di mana dendam terbenam,
keteduhan membalur bilur waktu biru lebam,
sepasang cuping hidung saling singgung

Bagai rerajut rumput dan lumut, hidup dan maut bersipagut,
gairah mendesing dari reruntuk puing, ingatan lekang
bersalin kelopak-kelopak jingga bemerkahan

Ketika kelam kelaminmu menghisap gempita gempa
ke rahim sunyi dini hari, kudengar angin menggelepar di pepokok jati

Lalu lenguhmu
selembut lembu

Tanah kuyup,
cahaya redup


Sitok Srengenge, 2006.

Sedang Ia

Tidak ada kepedihan yang teramat pedih
Selain dikhianati oleh dirimu sendiri
Yang terus menerus menyuruh hatimu untuk berbahagia
Sedang ia terus saja melukaimu

Sedang ia terus saja mempercepat kematianmu

fragmen kemarin

kusimpan kembali lenguh rindumu, laki-laki yang datang dari tanah jauh. 

lalu seperti yang direncanakan angin sore ini, aroma tubuhmu liar mencecar udara kamarku. mencari-cari rindumu yang kusimpan dalam kabinet plastik. di atasnya, ada mereka yang dahulu kamu simpan dalam lemari kayu. 

hikari, kalaf, dan kisa. betapa aku tidak ingin membenci maupun menyayangi. aku penat, sepenat udara di luar yang membawa uap air. kemudian mengalirkan hujan dari langit yang rendah. 

jika fragmen kemarin adalah bagian dari luka, kita hanya perlu benang jahit untuk menutupinya. dan jika hari ini cepat menjadi kemarin, aku ingin kamu datang secepat yang kamu bisa. dari tanah jauhmu. karena angin semakin liar membawa aroma lain. 

aku tidak ingin lagi membenci. atau dengki. karena rindumu selalu penuh memenuhi kamarku. tidak ada ruang untuk benci. tidak ada ruang untuk kemarin. 

kita hanya punya hari ini untuk terjaga, ingat? jadi merindulah sepuasmu, akan kusimpan sebanyak apapun. 

lalu seperti yang telah direncanakan angin sore ini, aroma tubuhmu liar mencecar udara kamarku. 

sedang jemari tanganku, 
gemetar dan berjatuhan.



2014, untuk hamzah.

Jika

mengapa sakit selalu dapat memenuhi ruang-ruang di antara kita? karena jarak, atau begitu pepatnya mimpi yang kita punya? 

rindu boleh jadi selalu datang. tapi rasa takut hinggap sama seringnya. jika cinta adalah suatu pembenaran, mengapa membuat kita menangis terlalu keras? 


pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu kubeli jawabannya. janji yang tak berkesudahan, tanpa ada yg terwujud. karena waktu belum memberikan kesempatan pada kita, untuk sedikitnya mengetahui apa yang kita punya. siapa kita? 

kita diuji dalam keragu-raguan. mengetahui masa depan sama sendunya dengan pergi ke masa lalu. jadi sayang, kita hanya punya hari ini untuk terjaga. 

jika cinta bukanlah sebuah pembenaran dari setiap keluh kesah. jika cinta hanya tentang mimpi yang terasa nyata, atau sebaliknya. jika cinta merupakan bagian dari janji yang tak terbeli... 


kamu di mana? tetap di sini atau terjaga di mimpi yang lain?



2014, iseng.