Profil

Selasa, 25 Februari 2014

Basah

Kutemukan pendar parasmu, dalam santun. Dalam setiap kali hujan.

Di jendela, yang kisi-kisinya cacat oleh cuaca, ditemani sekotak susu coklat
yang mendingin. Menatap cela pada setiap kaca yang buram.
Tersimpan gerimis yang basah. Basah.
Basah.

Hatiku basah oleh peluh yang datang entah dari perasaan yang mana.
Terlalu banyak bilik, tak ada yang mampu aku pahami. Cinta
membuat kita terlalu basah. Kemudian tenggelam dalam sesuatu yang tak kita yakini.

Parasmu terlalu sempurna untuk kisi-kisi jendela yang cacat, untuk sekotak susu coklat
yang semakin mendingin.
Kaca jendela dipenuhi janji yang tak juga terbeli, dan aku merasa semakin basah.

Cinta kita menetas di sepanjang musim. Namun parasmu hanya datang saat hujan.
Hujan memaksa kita untuk merindu, mengguratkan sepi di manapun.
Sepi,
dan basah.

Rasanya seperti direnggut dari tempatmu berdiri, kemudian
ditempatkan di suatu padang sunyi. Hanya hujan dan sendirian. Dan juga parasmu.
Tidak ada sekotak susu coklat, tidak ada apa pun.

Aku telah lama mengenal sekian hujan dan juga gerimis, kemudian
parasmu yang terpantul di setiap sudut. Membuatku semakin merindu, aku terbakar sendiri.
Oleh hujan yang semakin basah.

Jika ini adalah mimpi maka aku tak ingin terjaga. Aku takut
kenyataan mengharuskanku menerima segala sesuatunya, bahwa kamu sebenarnya
tidak pernah menjadi milikku.
Atau bagaimana aku harus mengatakannya?

Bilik-bilik ini dipenuhi oleh perasaan-perasaan yang terasa sama.

Rindu yang selalu sama, perasaan bersalah yang sama.
Paras yang sama,
aku takut kehilangan.

Kamu selalu terpejam, aku ingin bisa membaca matamu. Meski basah dan sunyi,
kita menangisi sesuatu yang tak pasti. Sesuatu yang mungkin akan datang sebentar lagi.

Kaca jendela berembun, dihembus udara dan hujan yang berpeluh. Setiap percakapan air dan angin,
menjadikan segalanya kian sunyi. Kian basah.
Dan aku semakin basah. Semakin merasa tak baik-baik saja.
Basah.
Hujan meresap ke setiap pori, bersama rindu yang tak kunjung tumpah.

Basah.
Seandainya aku ingat bagaimana rupanya pelangi, atau rinai senja saat lampu menghidupi setiap kota.
Aku hanya dibayangi bagaimana rasanya kehilangan
yang tak terjadi,
tapi begitu terasa dan begitu sakit.
Begitu sunyi.
Sunyi.
Dan basah.

Kemudian kaca jendela tak lagi berembun, angin merendah.
Daunan luruh, sendiri-sendiri.
Hujan baru saja berhenti,

aku kehilangan parasmu.


2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar