Profil

Kamis, 27 Februari 2014

Sajak-sajak Yudhistira ANM

Biarin!

kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin
kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin

habisnya, terus terang saja, aku nggak percaya sama kamu
Tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya sederhana
cuman, karena kamu merasa asing saja makanya kamu selalu bilang seperti itu

kamu bilang aku bajingan. Aku bilang biarin
kamu bilang aku perampok. Aku bilang biarin

soalnya, kalau aku nggak jadi bajingan mau jadi apa coba, jadi lonte?
aku laki-laki. Kalau kamu nggak suka kepadaku sebab itu
aku rampok hati kamu. Tokh nggak ada yang nggak perampok di dunia
ini. Iya nggak? Kalau nggak percaya tanya saja sama polisi

habisnya, kalau nggak kubilang begitu mau apa coba
bunuh diri? Itu lebih brengsek daripada membiarkan hidup ini berjalan
seperti kamu sadari sekarang ini

kamu bilang hidup ini melelahkan. Aku bilang biarin
kamu bilang itu menyakitkan

1974


Sajak Hidup Menderita

Sesuap nasi, selalu lewat begitu saja. Tanpa dikunyah
Tidak ada olahraga. Semua hanya persis dan habis. Dan tidak sehat

sekarang hidup, tidak usah menulis. Banyak orang tak menerima surat
Tidak ada telegram. Tapi banyak hal lain yang lebih mengejutkan

tutup gelas tak boleh dibuka. Orang tak minum
Hidup begitu memang sulit. Lebih-lebih jika sakit

1974


Sajak Sikat Gigi

Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidur ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka

Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali

Dan dia berpendapat bahwa, kejadian itu terlalu berlebih-lebihan.

1974


Suara

kudengar kata-kataku di telinga
kutemukan gema dalam mulutku sendiri

Suara

sesekali terdengar semacam gonggong yang asing
namun terasa, betapa dekat anjing itu bersembunyi

1976


Sketsa

1.      Sekelompok orang berkerumun di ujung gang
Kesibukan terhenti
Seseorang jatuh ke dalam kali
Sebuah becak terguling tiba-tiba

“Ada ambulans!” pekik seseorang dari dalam kali

2.      Sekelompok orang berkerumun di dalam ambulans
Percakapan terhenti
Seseorang telah mati
Sebuah becak menindihnya tiba-tiba

“Ada yang jatuh ke dalam kali!” pekik seseorang dari bawah becak

3.      Sekelompk orang berkerumun di dalam becak
Kesedihan terhenti
Seseorang keluar dari dalam kali
Sebuah becak dikayuhnya tiba-tiba

“Ada yang berak di dalam ambulans!” pekik seseorang di ujung gang

1974

Sumber: dari sini :)

BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan


Sapardi Djoko Damono

“Aku bertanya-tanya, apakah duka memiliki kapasitas tertentu? Sebanyak apa yang bisa Anda tanggung?”


Russel ‘Rusty’ Yates, Luka Cinta Andrea

Broken Angel

You showed him all the best of you
But I'm afraid your best
Wasn't good enough
And know he never wanted you
At least not the way
You wanted yourself to be loved
And you feel like you were a mistake
He's not worth all those tears that won't go away

I wish you could see that
Still you try to impress him
But he never will listen

Oh broken angel
Were you sad when he crushed all your dreams
Oh broken angel
Inside you're dying 'cause you can't believe

And now you've grown up
With this notion that you were to blame
And you seem so strong sometimes
But I know that you still feel the same
As that little girl who shined like an angel
Even after his lazy heart put you through hell

I wish you could see that
Still you try to impress him
But he never will listen

Oh broken angel
Were you sad when he crushed all your dreams?
Oh broken angel
Inside you're dying 'cause you can't believe
He would leave you alone
And leave you so cold
When you were his daughter
But the blood in your veins
As you carry his name
Turns thinner than water
You're just a broken angel

And I promise that it's not your fault
It was never your fault
And I promise that it's not your fault
It was never your fault...



Boyce Avenue
"...Aku merasa dikhianati. Entah oleh siapa. Karena rasanya aku tak bisa menyalahkan Koso. Tak ada yang bisa kusalahkan. Namun, aku tetap merasa disalahi..."

Partikel, Dee. 

Selasa, 25 Februari 2014

Basah

Kutemukan pendar parasmu, dalam santun. Dalam setiap kali hujan.

Di jendela, yang kisi-kisinya cacat oleh cuaca, ditemani sekotak susu coklat
yang mendingin. Menatap cela pada setiap kaca yang buram.
Tersimpan gerimis yang basah. Basah.
Basah.

Hatiku basah oleh peluh yang datang entah dari perasaan yang mana.
Terlalu banyak bilik, tak ada yang mampu aku pahami. Cinta
membuat kita terlalu basah. Kemudian tenggelam dalam sesuatu yang tak kita yakini.

Parasmu terlalu sempurna untuk kisi-kisi jendela yang cacat, untuk sekotak susu coklat
yang semakin mendingin.
Kaca jendela dipenuhi janji yang tak juga terbeli, dan aku merasa semakin basah.

Cinta kita menetas di sepanjang musim. Namun parasmu hanya datang saat hujan.
Hujan memaksa kita untuk merindu, mengguratkan sepi di manapun.
Sepi,
dan basah.

Rasanya seperti direnggut dari tempatmu berdiri, kemudian
ditempatkan di suatu padang sunyi. Hanya hujan dan sendirian. Dan juga parasmu.
Tidak ada sekotak susu coklat, tidak ada apa pun.

Aku telah lama mengenal sekian hujan dan juga gerimis, kemudian
parasmu yang terpantul di setiap sudut. Membuatku semakin merindu, aku terbakar sendiri.
Oleh hujan yang semakin basah.

Jika ini adalah mimpi maka aku tak ingin terjaga. Aku takut
kenyataan mengharuskanku menerima segala sesuatunya, bahwa kamu sebenarnya
tidak pernah menjadi milikku.
Atau bagaimana aku harus mengatakannya?

Bilik-bilik ini dipenuhi oleh perasaan-perasaan yang terasa sama.

Rindu yang selalu sama, perasaan bersalah yang sama.
Paras yang sama,
aku takut kehilangan.

Kamu selalu terpejam, aku ingin bisa membaca matamu. Meski basah dan sunyi,
kita menangisi sesuatu yang tak pasti. Sesuatu yang mungkin akan datang sebentar lagi.

Kaca jendela berembun, dihembus udara dan hujan yang berpeluh. Setiap percakapan air dan angin,
menjadikan segalanya kian sunyi. Kian basah.
Dan aku semakin basah. Semakin merasa tak baik-baik saja.
Basah.
Hujan meresap ke setiap pori, bersama rindu yang tak kunjung tumpah.

Basah.
Seandainya aku ingat bagaimana rupanya pelangi, atau rinai senja saat lampu menghidupi setiap kota.
Aku hanya dibayangi bagaimana rasanya kehilangan
yang tak terjadi,
tapi begitu terasa dan begitu sakit.
Begitu sunyi.
Sunyi.
Dan basah.

Kemudian kaca jendela tak lagi berembun, angin merendah.
Daunan luruh, sendiri-sendiri.
Hujan baru saja berhenti,

aku kehilangan parasmu.


2014

Senja untuk Kawan

1

Kau tahu kawan?

Bila mega sudah enggan bercengkerama dengan senja; camar-camar memekik di bawah lembayung lusuh, kemudian hilang tergulung gabak-gabak

hingga senja tak punya warna

Kau menangis dalam riak dingin yang menggerogoti jiwa,
raga,
sukma,
dan segalanya.

Sebenarnya aku ingin mengajakmu menjahit bianglala di bajumu, dengan benang perak dari bintang-bintang: namun sudah entah jadi bangkai atau lenyap atau terbungkus kenangan.

2
Hingga kau bertanya kapan senja akan merona, mengembalikan semua ingatan akan jingga yang dipenuhi ruang dan jarak, mengembalikan sisa gema masa lalu dan semua catatan yang kian berkarat

segala harapan tinggal sisa sekerat, betapa

”Seperti tak lagi kukenal senja itu, kini!” katamu. Aku diam. Menekuri segala yang tersirat dari balik mantel musim dingin yang kau kenakan

”Bahkan saat aku sedang menyelesaikan baris terakhir dari syair mimpi: memang rasanya percuma karena senja begitu membenci penyair.”

Ombak menghempas sunyi yang bernyanyi kian meninggi, menjemput ucapanmu dan mengungsikannya ke luas samudra


3
Hujan terus saja. Namun kau tak henti juga menuliskan baris-baris kemarau: pohon tumbang, kebakaran hutan, atau sungai yang mengering.

Aku memagut sepi yang membungkus raut senja yang kian kelabu, kau putus asa, aku tak bisa
Lantas kita paham: senja tak hilang, seumpama bintang yang pudar di angkasa

Dan bila senja belum juga merona

Kau tahu kawan?

Aku akan genggam kau lalu kita ciptakan warna untuk senja, biar kasih menyelubungi malam, dan gabak bertekuk lutut pada bintang-bintang nirwana



September 23, 2009 at 3:09pm

Kamis, 20 Februari 2014

Partikel

Karena rasanya tidak adil jika aku hanya membicarakan akar. Baiklah, sekarang aku mau bicara tentang Partikel.

Aku sempat berbincang sedikit dengan Sisy. Aku bilang aku nggak suka Partikel, ralat: aku lebih suka Akar ketimbang Partikel. Karena rasanya dalam Partikel aku mudah sekali menemukan Dee. Dia ada di mana-mana. Dia ada di setiap narasi. Inikah hasil bertapa selama delapan tahun? Jujur aku tidak terpuaskan, meski Partikel adalah yang paling tebal sekali pun. Aku tidak kenyang sama sekali.

Jadi, Partikel tidak dapat membuatku bertahan sampai akhir. Baiklah, aku memang membacanya hingga halaman terakhir, bahkan aku membaca tentang riwayat penulis. Tapi hampir lima puluh halaman terakhir aku hanya mencari-cari dialog dan mengacuhkan narasi.

Aku berhenti sampai Zarah tiba di mana? bertemu dengan... siapa? Hardiman? Ya ya ya pokoknya itu. Aku bahkan lupa tentang detailnya, padahal seharusnya bagian ini adalah kunci dari Partikel. Bagian akhir adalah jawaban dari semua teka-teki yang bertubi-tubi sejak awal, kan?

Dan bahkan aku tidak begitu membaca kisah Bodhi dan Elektra karena terlanjur bosaaaaaan. Aku memang belum tentu bisa menulis cerita dahsyat luar biasa seperti Partikel, tapi itulah yang terasa, meninggalkan kesan rumit. Mungkin ini lagi-lagi tentang mood. Tolong!

Sisy bilang Partikel seperti sebuah ensiklopedia. Aku setuju, tapi aku lebih suka ensiklopedia bergambar. Hahaha. Partikel memang memuat gambar-gambar dan sketsa luar biasa di luar akal manusia. Tapi ya... begitulah. Aku lebih suka Akar, meski hanya sedikit gambar ada di sana!

Terlepas dari itu semua, Partikel memang menarik. Dee selalu berhasil mengangkat rupa-rupa fenomena yang tak terpikirkan sebelumnya. Yah, namanya juga tentang spiritual ya. [Cengenges]. Beberapa hal yang aku suka dari Partikel adalah Zarah. Namanya bagus, aku suka. Hahahah. Cerita ini juga dibuka dengan sangat baik, semua tanda tanya dikeluarkan, semua tabu, semua hal SARA yang berhasil disamarkan dengan apik. Hebat ya, berani banget nulis menyinggung-nyinggung SARA begini. Gila.

Aku suka petualangan Zarah. Aku suka saat-saat Zarah menjadi seorang fotografer, petualangan di Tanjung Puting, dan seterusnya dan selanjutnya sampai ia berhasil tiba di London. Aku suka saat ia punya kesempatan memotret kawanan singa dari dalam telaga. Hahaha.

Dan yang paling membekas adalah CHOMO CHOMO! Sampai sekarang aku sering sekali ber-CHOMO CHOMO! Hahaha. Apa kabar Sarah ya?

Partikel kuhabiskan dalam waktu tiga hari. Satu hari penuh antusias, sisanya penasaran. Nah, itu. Partikel adalah buku luar biasa. Namun, aku tetap akan memilih Akar. Aku memang belum baca dua buku lainnya. Kita lihat nanti ya. Selamat menjadi: S.

Ohya, terima kasih lagi Sisy. Totemo arigatou :)

Rabu, 19 Februari 2014

Rikuh

"Kalau aku sih mendingan ngga pacaran tapi komitmen."

Itu kata mbak-mbak yang lewat waktu aku mau ke perpus. Dia ngobrol sama temennya yang kayaknya baru jadian. Aku nengok, merasa dipanggil padahal nggak. Rikuh. Terus jadi mikir. Terus jadi senyum-senyum sendiri. Hahaha

Ini pertama kalinya aku mencintai seorang laki-laki dalam hubungan yang seperti ini. Biasanya ada dua hal yang terjadi: pacaran atau diam di tempat tanpa pernah mengungkapkan apa pun. Dan sekarang ini adalah bukan keduanya. Aku menjalani hidupku di antara keduanya. Life in between. Semacam berada di zona abu-abu.

Aku galau? Nggak. Laki-laki ini berhasil mengubah sudut pandangku dalam menjalani hubungan. Aku menghormatinya. Mencintainya adalah keputusan mutlak dalam hidupku, sesuatu yang kuputuskan dengan penuh kesadaran.

Aku sempat galau? Ya. Bukan apa-apa. Hanya saja pada awalnya aku ingin setiap orang mengetahui bahwa aku mencintainya, karena hampir semuanya menganggap laki-laki ini masih bersama masa lalunya. Tapi aku sadar bahwa cinta akan selalu diiringi oleh rasa sesak, meski cuma sebentar.

Jadi aku tidak akan berhenti mencintainya karena masalah kecil. Dan selalu berusaha mencintainya meski ada masalah besar. Ketakutan itu pasti ada tapi aku tidak akan kalah. Laki-laki ini pasti tahu bagaimana menjaga perasaan. Laki-laki ini pasti tahu bagaimana melindungi. Laki-laki ini pasti tahu bagaimana harus berjuang.

Ini bukan cinta kanak-kanak ya. Jadi aku nggak akan pusing mikirin ginian. Aku sudah sangat bersyukur, sekarang ini lebih dari cukup. Dan aku berdoa supaya sampai nanti juga akan lebih dari cukup. Sudah dewasa, jadi pasti tahu rasa masing-masing. Oke, menjaga hati dari yang lain. Pernah jatuh kan, ya? Sama-sama pernah berbuat salah dengan meninggalkan. Tapi aku percaya pada laki-laki ini. Mencintainya adalah keputusan mutlak dalam hidupku, sesuatu yang kuputuskan dengan penuh kesadaran.

Aku mencintainya dalam keadaan apa pun. Kebahagiaan terindah adalah mengetahui bahwa ia juga mencintaiku sama besarnya.

Selasa, 18 Februari 2014

senyum aja ya :)

harusnya aku bisa menulis minimal tiga paragraf hari ini.
apa pun yang aku lakukan sekarang bukan bagian dari menulis, tapi.
mungkin perlu waktu sebentar, pinjam waktumu juga sebentar.
zarah, hahaha teringat lagi, nanti lahir bulan september.
aku bilang semuanya akan lahir tahun ini.
harusnya aku bisa cepat-cepat mewujudkannya sebagian.

semua mimpi, semua ilusi, zarah juga.
yang masih entah di mana, kamu juga.
ini sudah petang, tapi kursiku masih nyaman.
fifi ulang tahun, sudah kuucapkan selamat tadi siang.
aku tahu hanya itu bagian dari menulis hari ini.
ulang tahun. humm... sebentar lagi si kembar juga genap empat tahun.
lebih baik aku buatkan sebuah hadiah, zarah.

hari sudah beranjak gelap.
aku masih menunggu di sini, sambil berusaha menulis sebuah nama.
q! ah, namamu susah, hahaha.

QWERTYUIOPASDFGHJKLZXCVBNM

cela. dia. facebook. ungu. mati. lelah. aku. instagram. kalafina. oranye. new orleans. skripsi. pantai. stroberi. sesak. tunggu. im. pulang. zarah. batuk. green. grafik. pkf. mouse. luar. lampu. gww. aku. merah. kayu. rindu. rindu. kereta. garis. komik. klimat. medok. jawa. muntah. lomba. sampah. bunga. kamu. uang. mie. anget. jantung. bulu. rapat. ddd. susah. nulis. getar. kuning. kamu. sudah.

Janji

Bicara itu mudah.

Terkadang kita terlanjur berjanji tanpa benar-benar disadari. Sedang orang yang mengharapkannya begitu mengingat janji kita. Disimpan baik-baik, tanpa berani menagih atau menuntut. Hanya diam dan berharap. Kemudian sedih sendiri saat tahu kita tidak benar-benar berjanji.

Janji adalah bagian dari suatu penghiburan diri.
Berjanji itu mudah, membuktikannya yang sulit. Bahkan untuk mengingatnya pun......


Minggu, 16 Februari 2014

Senin, 10 Februari 2014

Degup

Dalam tiga rakaat shalat maghribku, aku selipkan namamu pada sujud terakhir.

Meremang, aku ingin menangis sejenak. Aku tahu Tuhan selalu menyimpan jawaban dari setiap doa, jadi aku berdoa banyak-banyak. Sangaaat banyak. Meski semuanya tentang satu hal.

Aku ingin menangis sebentar. Merasakan darahku berpusat di rongga dada dan mengalir hangat sampai ke titik luka. Aku merindukan degup jantungmu, kemudian rasanya ingin menangis sekencang yang aku bisa, di dadamu. Membagi setiap perih tanpa suara dan tanpa kata. Sungguh aku ingin bersamamu sampai batas dunia yang ditentukan Tuhan. Bahkan dalam dunia setelahnya.

Aku mau menangis sekencang yang aku bisa, di dadamu. Tanpa banyak pertanyaan dan protes. Cukup degup jantungnya yang bicara, aku merindukannya. Lihatlah, berapa banyak yang telah diambil dari diriku. Aku bahkan tidak dapat memiliki air mataku sendiri. Mereka terus saja mengalir. 

Ini adalah titik nadir, titik terjauh dari jangkauan kebahagiaan. Hanya dengan melihat wajahmu aku sanggup merangkak keluar darinya. Atau mendengar degup jantungmu, aku... merindukannya.

Aku tahu suatu saat kamu akan membaca ini. Kemudian bertanya-tanya apa yang terjadi. Aku tidak bisa berkata apa pun. Aku hanya ingin menangis keras-keras, sekuat yang aku bisa. Tanpa banyak ditanya atau dimarahi. Aku mau menangis sampai aku lelah sendiri. Maka setelahnya aku akan baik-baik saja. Semoga.

Aku tahu kesedihan-kesedihanku tak baik buatmu. Tapi aku benar ingin menangis sepuasnya, di dadamu. Degup jantungmu membuatku hangat. Membuatku hidup dan hidup.

Aku ingin hujan, sekarang. Dinginnya akan menenteramkan. Baunya membuatku semakin merindukan rumah. Tapi aku seperti tak memiliki tempat untuk pulang. Aku takut berada di mana pun, aku hanya ingin melihatmu. Dan mendengar setiap suara dari dirimu. Bahkan suara dengkurmu atau suara perutmu.

Aku merindukan segala hal tentang dirimu.

Dalam tiga rakaat shalat maghribku, aku selipkan namamu pada sujud terakhir. Tidak ada yang salah dari banyak meminta. Maka aku berdoa, berdoa, berdoa. Sengau.


Meditria, 2014. Hati-hati di jalan.

Kepencet

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa *anggap aja ini kepencet terus males ngehapus lagi* hhahahahaha

besok masih ada kuliaaah, aaaaku belum merdeka.
duduk di sini lebih ribut ya, deket orang banyak yang banyak ngomong. tapi kebagian duduknya cuma di sini huooh. masih bisa liat ke luar jendela sih, masih bisa duduk dengan dua kaki diangkat tanpa malu sih.

di luar setengah ceraaaah, tapi berharap ujan sih. biasanya kalo ujan jadi sepi. yuhuuuuu~ terus di sini sampe malem yuhuuuuu~ terus besok kuliah nyeh -____-


aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa *kepencet lagi*

Jumat, 07 Februari 2014

aksara

bacalah aku.

selamanya aku tidak selalu punya huruf a, terkadang terlalu banyak huruf u. tapi percayalah, yang kamu lihat adalah benar diriku. seringkali aku hanya bagian dari deretan huruf konsonan, sulit untuk dilisankan dan diterjemahkan. atau banjir dengan huruf h karena terlalu banyak mengeluh. tapi aku tidak pernah berusaha menjadi orang lain, meski mereka punya sekian angka. aku masih memiliki banyak tanda baca. aku adalah aku.

bacalah aku, sayang. kamu akan lihat ada beratus abjad tentang dirimu. juga tentang namamu yang selalu kueja dalam doa-doaku.


meditria, 2014. adem.



Rabu, 05 Februari 2014

Akar

Dalam perjalanan kemari―yang harus dilalui dengan masuk ke gudang sampah nomor satu di Balebak, yang baunya sudah hampir bisa ditolerir oleh indera penciumanku saking seringnya aku lewat ke situ, dan kemudian memesan satu paket perjalanan menuju perpustakaan via ojeg. Aku berjalan dengan banyak kalimat yang melintas, kalimat-kalimat itu meraih-raih pintu bangsal berdebu yang jarang kupakai di dalam otakku, karena jarang sekali kubuka. Mereka berjejalan memaksaku untuk segera mewujudkan mereka menjadi bentuk reinkarnasinya: sebuah cerita. Aku merangkai banyak sekali fragmen-fragmen kasar di kepalaku, semacam ide untuk membuat suatu tulisan cerdas―yang tidak pernah berhasil. Tapi ide adalah 50% dari keseluruhan proses menulis. Jadi luar biasa mahal, dan aku hanya sering menjadikannya setengah jadi. Dibiarkan begitu saja, terkadang banyak yang pergi dan kulupakan sampai akhirnya menyesal sendiri. Dan benar saja, semua kalimat dalam bangsal yang sudah terkunci sekalipun hilang begitu saja, diterkam ganas oleh angin yang menabrak-nabrak wajah sepanjang perjalanan kemari. Ojeg setan.

Malam tadi aku tidur ditemani Akar, yang sebelumnya berhasil menyita segenap inderaku untuk bertumpu pada 47 halaman awal yang kubaca dengan penuh kesadaran. Sampai akhirnya aku menyerah pada makhluk-makhluk yang berusaha membawaku ke alam mimpi, entah siapa mereka. Memaksaku untuk bertemu banyak orang yang tak kukenal tapi seakan-akan aku mengenalnya sejak lama. Mimpi hanya akan ada di tempat yang pernah kita lihat dengan semua tokoh yang pernah kita lihat sebelumnya. Tapi tidak jarang aku bertanya saat esok harinya, kapan aku pernah pergi ke sana? Atau dimana aku pernah melihat tempat seperti itu? Dan, YAH, aku lupa mimpiku semalam. Ojeg setan.

Bicara tentang Akar, buku ini sudah kuhabiskan 128 halaman. Tepat saat Bodhi kembali ke Srinthip dan mencari Kell. Sudah, aku sudahi dulu. Di sini kumandang adzan tidak terlalu terdengar sehingga tidak ada semacam alarm yang sanggup merenggutku dari kuasa buku ini. Gila, aku harus bisa mengontrol diriku untuk tidak membaca seharian penuh. Bahkan aku sempat mengabaikan pesan singkat seseorang yang selama ini selalu kutunggu pesan-pesannya, meski ia datang hanya berupa sebuah pesan 'halo'-dengan-huruf-o-yang-pendek sekalipun.

Akar sudah kudengar kehebatannya dari semenjak aku belum punya cukup uang dan kemauan untuk membeli novel, hanya meminjam sana-sini dalam antrian yang sangat panjang. Aku tahu ini novel hebat. Tapi tidak pernah berkeinginan untuk membacanya. Entahlah, aku hanya belum ingin. Buku sebagus apapun jika dibaca dengan mood yang soak, aku khawatir akan meninggalkan kesan yang rumit. Mood, sebuah kata yang gampang untuk diucapkan, semudah mengeja good namun nyatanya selalu berbeda. Good adalah sebuah tunggal yang berdiri anggun, dikenal dan mengenal banyak orang. [Paham? Tidak juga tidak apa-apa.] Tapi, mood adalah akar serabut, berbelit-belit dengan tujuan yang rumit. Berubah arah, dan terkadang, YAH, soak.

Aku adalah penulis setengah jadi, bahkan terkadang belum sampai setengah karena idenya masih serabutan. Aku seperti mempunyai ide namun nyatanya nihil. Bangsal itu masih berdebu, bahkan terkunci dan kuncinya berkarat. Kenapa? Kenapa aku tidak pernah berhasil? Yah, aku akui aku menemukan sedikitnya sesuatu dalam buku ini, si akar ini.

Jadi aku juga berterima kasih pada Sisy yang sudah memberikan, ralat: meminjamkan buku ini. Aku membacanya seperti ini adalah milikku, karena aku harus dengan susah payah meletakannya kembali saat alarm berbunyi. Dan itu terjadi sekarang, bahkan aku berani bertaruh buku ini akan selesai malam nanti. Seperti saat aku membaca Harry Potter and The Half-Blood Prince yang berhasil kutelan bulat-bulat hanya dalam sehari.

Jadi begini, pengarang buku ini, Dee―yang akun twitternya entah sejak kapan dan untuk alasan apa aku mem-follow-nya, berhasil menyadarkan sesuatu. AHA! Semacam itu. si-AHA ini berhasil mengorek-orek pintu bangsalku dan mendobraknya keras sampai kepalaku tersentak.

Dee adalah penulis tekun, risetnya gila-gilaan―mungkin. Aku tidak terlalu mengenalnya, hanya sebatas pada karya-karya ringan semacam Perahu Kertas dan Madre. Mungkin seorang Sisy akan lebih antusias dalam menggambarkan sosok Dee. Mereka dua perempuan yang datang secara sadar dan tak sengaja, atau sengaja tapi tanpa disadari? Entahlah. Jadi setiap kali pikiran tentang Sisy muncul, aku juga memikirkan Dee. [Oh yah, mungkin hanya penyair yang sanggup mengerti kata-kataku yang hiperbolis ini.]

Aku juga pernah melakukan riset. Tentang kota kecil di sebelah barat London: Bristol. Kenapa Bristol? Sebab kota ini dekat dengan kota kelahiran J. K. Rowling yang kupuja karyanya sampai sekarang.  [Alasan aneh]. Ya, aku jadi antusias dengan kota ini. Berbulan-bulan hanya memikirkan karya luar biasa yang ada di otakku, tapi gagal kumuntahkan ke kertas mana pun. Sampai idenya aus sendiri, megap-megap seperti ikan mujair yang minta disiram air.

Jika sudah membaca karya bagus, aku jadi termotivasi. Dan bertahan sebentar saja, mood-ku cepat sekali soak. [Tertawa]. Jadi, lewat sedikitnya 128 halaman Akar ini, aku menyadari bahwa di sana tidak ada Dee. Di sana hanya ada Bodhi, yang baru saja lepas dari Lokal 13, tempat cari uang dan menjadikan dirinya sebagai Sisifus. Nah, jadi kemana Dee?

Yap, dia berhasil menjadi orang lain. Berhasil membuatku berpikir bahwa penulis Akar adalah Bodhi, tokoh yang hidup, kemudian kisahnya yang nyata diangkat menjadi sebuah novel, dan blablabla... blablabla... Nah, Dee berhasil melakukan risetnya pada si tokoh. Ia mengenal Bodhi, seperti teman biasa nongkrong atau teman seperjalanan dalam jarak yang jauh. Sudah akrab dan leluasa bertukar pikiran. Dee berhasil membuat kisahnya menjadi hidup.

Aku seringkali terperangkap dalam diriku sendiri. Berusaha menyelipkan ke-aku-aku-an dalam semua ide brilian yang seringnya berakhir menyedihkan. Semua yang kutulis hampir pernah kualami, selebihnya imajinasi yang hampir mustahil. Dan rumit. Jadi, sekarang aku hanya bisa menahan nafas sejenak, kemudian menghembuskannya sampai layar laptopku berembun. Aku harus bisa menjadi orang lain dengan caraku, seperti yang Aan Mansyur pernah bilang: Saya menulis sebab sering diserang perasaan ingin berada di sini, di sana, dan di mana-mana sekaligus. Heeei, kita bisa pergi ke mana saja dan menjadi siapa saja dengan menulis.

Seringkali aku membaca karya-karya pendek orang lain. Dan seringkali pula banyak yang bagus.  Aku  suka tulisan-tulisan teman-temanku seperti Fiki, Isti, Luca Satria, dan Oryza Sativa. Entah dia siapa, aku mengenalnya lewat Jeni. [Jeni, ketika lidah menyentuh langit-langit saat menyebutkan namanya.]. Jeni adalah karyanya yang misterius, semisterius dirinya. Aku bahkan tidak tahu di mana dia sekarang.  Yah, membaca karya-karya orang lain bisa menjadi bahan bakar dalam proses menulis. Aku juga pernah membaca status Sisy yang menyinggung soal Santiong. Aku ingat ada yang berpendapat bahwa Santiong yang dipilihnya menjadi penghancur semua diksi yang rapi disusunnya dengan penuh retorika itu. Tapi, aku berpendapat lain. Justru tiga bait―atau empat? dalam status facebook-nya jadi indah karena Sisy memilih dari sekian banyak tempat dan pilihannya jatuh pada, iya, Santiong. [Nyengir].

Nah, karena dua perempuan ini sudah hadir sebagaimana cerita yang kubaca saat ini―membuatku bergumam pelan: Edyan! Masa sih bisa??!! Aku sangat berterima kasih. Ya, banyak hal yang ingin kusampaikan sebenarnya, pada dua perempuan ini. Tapi sekarang cukuplah terwakilkan oleh dua kata saja: Terima Kasih.

Ohya, Supernova akan difilmkan. Dan aku malah membaca novelnya. [Ketawa].