Profil

Rabu, 05 Februari 2014

Akar

Dalam perjalanan kemari―yang harus dilalui dengan masuk ke gudang sampah nomor satu di Balebak, yang baunya sudah hampir bisa ditolerir oleh indera penciumanku saking seringnya aku lewat ke situ, dan kemudian memesan satu paket perjalanan menuju perpustakaan via ojeg. Aku berjalan dengan banyak kalimat yang melintas, kalimat-kalimat itu meraih-raih pintu bangsal berdebu yang jarang kupakai di dalam otakku, karena jarang sekali kubuka. Mereka berjejalan memaksaku untuk segera mewujudkan mereka menjadi bentuk reinkarnasinya: sebuah cerita. Aku merangkai banyak sekali fragmen-fragmen kasar di kepalaku, semacam ide untuk membuat suatu tulisan cerdas―yang tidak pernah berhasil. Tapi ide adalah 50% dari keseluruhan proses menulis. Jadi luar biasa mahal, dan aku hanya sering menjadikannya setengah jadi. Dibiarkan begitu saja, terkadang banyak yang pergi dan kulupakan sampai akhirnya menyesal sendiri. Dan benar saja, semua kalimat dalam bangsal yang sudah terkunci sekalipun hilang begitu saja, diterkam ganas oleh angin yang menabrak-nabrak wajah sepanjang perjalanan kemari. Ojeg setan.

Malam tadi aku tidur ditemani Akar, yang sebelumnya berhasil menyita segenap inderaku untuk bertumpu pada 47 halaman awal yang kubaca dengan penuh kesadaran. Sampai akhirnya aku menyerah pada makhluk-makhluk yang berusaha membawaku ke alam mimpi, entah siapa mereka. Memaksaku untuk bertemu banyak orang yang tak kukenal tapi seakan-akan aku mengenalnya sejak lama. Mimpi hanya akan ada di tempat yang pernah kita lihat dengan semua tokoh yang pernah kita lihat sebelumnya. Tapi tidak jarang aku bertanya saat esok harinya, kapan aku pernah pergi ke sana? Atau dimana aku pernah melihat tempat seperti itu? Dan, YAH, aku lupa mimpiku semalam. Ojeg setan.

Bicara tentang Akar, buku ini sudah kuhabiskan 128 halaman. Tepat saat Bodhi kembali ke Srinthip dan mencari Kell. Sudah, aku sudahi dulu. Di sini kumandang adzan tidak terlalu terdengar sehingga tidak ada semacam alarm yang sanggup merenggutku dari kuasa buku ini. Gila, aku harus bisa mengontrol diriku untuk tidak membaca seharian penuh. Bahkan aku sempat mengabaikan pesan singkat seseorang yang selama ini selalu kutunggu pesan-pesannya, meski ia datang hanya berupa sebuah pesan 'halo'-dengan-huruf-o-yang-pendek sekalipun.

Akar sudah kudengar kehebatannya dari semenjak aku belum punya cukup uang dan kemauan untuk membeli novel, hanya meminjam sana-sini dalam antrian yang sangat panjang. Aku tahu ini novel hebat. Tapi tidak pernah berkeinginan untuk membacanya. Entahlah, aku hanya belum ingin. Buku sebagus apapun jika dibaca dengan mood yang soak, aku khawatir akan meninggalkan kesan yang rumit. Mood, sebuah kata yang gampang untuk diucapkan, semudah mengeja good namun nyatanya selalu berbeda. Good adalah sebuah tunggal yang berdiri anggun, dikenal dan mengenal banyak orang. [Paham? Tidak juga tidak apa-apa.] Tapi, mood adalah akar serabut, berbelit-belit dengan tujuan yang rumit. Berubah arah, dan terkadang, YAH, soak.

Aku adalah penulis setengah jadi, bahkan terkadang belum sampai setengah karena idenya masih serabutan. Aku seperti mempunyai ide namun nyatanya nihil. Bangsal itu masih berdebu, bahkan terkunci dan kuncinya berkarat. Kenapa? Kenapa aku tidak pernah berhasil? Yah, aku akui aku menemukan sedikitnya sesuatu dalam buku ini, si akar ini.

Jadi aku juga berterima kasih pada Sisy yang sudah memberikan, ralat: meminjamkan buku ini. Aku membacanya seperti ini adalah milikku, karena aku harus dengan susah payah meletakannya kembali saat alarm berbunyi. Dan itu terjadi sekarang, bahkan aku berani bertaruh buku ini akan selesai malam nanti. Seperti saat aku membaca Harry Potter and The Half-Blood Prince yang berhasil kutelan bulat-bulat hanya dalam sehari.

Jadi begini, pengarang buku ini, Dee―yang akun twitternya entah sejak kapan dan untuk alasan apa aku mem-follow-nya, berhasil menyadarkan sesuatu. AHA! Semacam itu. si-AHA ini berhasil mengorek-orek pintu bangsalku dan mendobraknya keras sampai kepalaku tersentak.

Dee adalah penulis tekun, risetnya gila-gilaan―mungkin. Aku tidak terlalu mengenalnya, hanya sebatas pada karya-karya ringan semacam Perahu Kertas dan Madre. Mungkin seorang Sisy akan lebih antusias dalam menggambarkan sosok Dee. Mereka dua perempuan yang datang secara sadar dan tak sengaja, atau sengaja tapi tanpa disadari? Entahlah. Jadi setiap kali pikiran tentang Sisy muncul, aku juga memikirkan Dee. [Oh yah, mungkin hanya penyair yang sanggup mengerti kata-kataku yang hiperbolis ini.]

Aku juga pernah melakukan riset. Tentang kota kecil di sebelah barat London: Bristol. Kenapa Bristol? Sebab kota ini dekat dengan kota kelahiran J. K. Rowling yang kupuja karyanya sampai sekarang.  [Alasan aneh]. Ya, aku jadi antusias dengan kota ini. Berbulan-bulan hanya memikirkan karya luar biasa yang ada di otakku, tapi gagal kumuntahkan ke kertas mana pun. Sampai idenya aus sendiri, megap-megap seperti ikan mujair yang minta disiram air.

Jika sudah membaca karya bagus, aku jadi termotivasi. Dan bertahan sebentar saja, mood-ku cepat sekali soak. [Tertawa]. Jadi, lewat sedikitnya 128 halaman Akar ini, aku menyadari bahwa di sana tidak ada Dee. Di sana hanya ada Bodhi, yang baru saja lepas dari Lokal 13, tempat cari uang dan menjadikan dirinya sebagai Sisifus. Nah, jadi kemana Dee?

Yap, dia berhasil menjadi orang lain. Berhasil membuatku berpikir bahwa penulis Akar adalah Bodhi, tokoh yang hidup, kemudian kisahnya yang nyata diangkat menjadi sebuah novel, dan blablabla... blablabla... Nah, Dee berhasil melakukan risetnya pada si tokoh. Ia mengenal Bodhi, seperti teman biasa nongkrong atau teman seperjalanan dalam jarak yang jauh. Sudah akrab dan leluasa bertukar pikiran. Dee berhasil membuat kisahnya menjadi hidup.

Aku seringkali terperangkap dalam diriku sendiri. Berusaha menyelipkan ke-aku-aku-an dalam semua ide brilian yang seringnya berakhir menyedihkan. Semua yang kutulis hampir pernah kualami, selebihnya imajinasi yang hampir mustahil. Dan rumit. Jadi, sekarang aku hanya bisa menahan nafas sejenak, kemudian menghembuskannya sampai layar laptopku berembun. Aku harus bisa menjadi orang lain dengan caraku, seperti yang Aan Mansyur pernah bilang: Saya menulis sebab sering diserang perasaan ingin berada di sini, di sana, dan di mana-mana sekaligus. Heeei, kita bisa pergi ke mana saja dan menjadi siapa saja dengan menulis.

Seringkali aku membaca karya-karya pendek orang lain. Dan seringkali pula banyak yang bagus.  Aku  suka tulisan-tulisan teman-temanku seperti Fiki, Isti, Luca Satria, dan Oryza Sativa. Entah dia siapa, aku mengenalnya lewat Jeni. [Jeni, ketika lidah menyentuh langit-langit saat menyebutkan namanya.]. Jeni adalah karyanya yang misterius, semisterius dirinya. Aku bahkan tidak tahu di mana dia sekarang.  Yah, membaca karya-karya orang lain bisa menjadi bahan bakar dalam proses menulis. Aku juga pernah membaca status Sisy yang menyinggung soal Santiong. Aku ingat ada yang berpendapat bahwa Santiong yang dipilihnya menjadi penghancur semua diksi yang rapi disusunnya dengan penuh retorika itu. Tapi, aku berpendapat lain. Justru tiga bait―atau empat? dalam status facebook-nya jadi indah karena Sisy memilih dari sekian banyak tempat dan pilihannya jatuh pada, iya, Santiong. [Nyengir].

Nah, karena dua perempuan ini sudah hadir sebagaimana cerita yang kubaca saat ini―membuatku bergumam pelan: Edyan! Masa sih bisa??!! Aku sangat berterima kasih. Ya, banyak hal yang ingin kusampaikan sebenarnya, pada dua perempuan ini. Tapi sekarang cukuplah terwakilkan oleh dua kata saja: Terima Kasih.

Ohya, Supernova akan difilmkan. Dan aku malah membaca novelnya. [Ketawa].

5 komentar:

  1. bagus bagus, wah dini suka nulis toh rupanya.. teruskan, ditunggu karya2 selanjutnyaa ;)

    BalasHapus
  2. wah siapa nih? ka deborah ya? wkwkwk iya suka sekaliii heheh oke okee makasih :)

    BalasHapus
  3. ih ko bisa tau sih din? padahal udah sengaja di anonim -__-
    teruskan menulisnya yaa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. huahaha iya dongs kak ;p
      iya siaaaap !! semoga tulisan yang lebih besar cepet lahir nih, coming soooon !! wkwkwk

      tulisan kaka juga bagus, bukan ibu guru :)

      Hapus