Profil

Sabtu, 08 Oktober 2011

Mati Rasa

Ini memang aku buat Mei lalu, tapi entah kenapa kurasakan lagi sekarang.. Semoga tak terjadi apa-apa. Aku hanya lelah saja. Ya, teramat lelah...


Mati Rasa


Berasa hambar dimana-mana, aku tak lantas memejamkan mata. Ada seribu keputusasaan yang berjejal memenuhi rongga-rongga. Semuanya menjalar ke urat dada dan mati rasa. Laci meja belajarku
menyimpan lampu-lampu, bau edelweis, peta pita, kerinduan akan tenda-tenda yang dipancang dekat bendera. Semua bertumpang dalam kesunyian yang tak dapat dipahami. Masa lalu lebih indah dari sekarang dan masa depan hanya akan menjadi penghalang. Semua memperebutkan kebahagiaan yang raib dari peraduannya. Dan aku telah mati rasa.

Aku mencoba memejamkan mata. Kepalaku menyimpan pasar malam. Ada kincir-kincir yang bergerak putus asa. Lalu papan ayunan yang tak sengaja memenggal kepala seorang penjaga. Wajah-wajah letih bergumam dan menumpahkan kesunyian yang menghunjam gendang telinga. Segala yang ada melagukan ketidak pastian. Dan aku telah mati rasa, kini menjalar ke ubun kepala

Lewat tengah malam aku bergegas mencari makna. Mencari rasa. Kutelusuri ruang-ruang dalam kepalaku. Semakin dalam. Dan kali ini kutemukan sehampar gersang ilalang. Ada ranting-ranting kumuh yang menyergap dan melilit pergelangan. Angin dingin mengikis kulitku hingga meremang. Dan aku diam dengan ekspresi yang tak kuyakini. Segala kalut dan aku berlari, seperti ada pintu di ujung sana dan aku melompatinya.

Aku terdampar dalam ruang sempit berbau busuk. Ada kucing liar yang memakan jantung manusia, ia gantung
dalam mulut dan mengibaskannya. Darah memenuhi apa yang bisa terlihat dan seketika suara-suara jeritan memenuhi pelupuk mataku. Rasa hambar mencekik leher dan kulihat got-got dan pelimbahan telah dipenuhi ketakutan yang abadi. Aku berlari dan semakin merasa ringan saja. Satu persatu makna tercabut bagai nyawa.

Suara tawa: entah siapa dan di mana. Aku berlari menapaki jalan berkabut. Sedetik kemudian ketemukan diriku dalam remang sebuah taman. Tempat paling tak mau aku datangi. Semua kebahagiaan mulai menguap semakin mengudara. Daunan gugur mengubur telapak kaki yang kian habis diguyur gerimis. Aku tahu sebentar lagi akan ada tiang ayunan, lalu bangku
omong kosong, lampu taman yang redup, burung gereja yang merindukan cahaya, kubangan yang kini semakin dalam saja. Kemudian angin akan bercerita lewat gemerisik cemara yang tak pernah tersentuh peri-peri matahari. Ada tong-tong dekat pelimbahan, menyimpan harapan yang kini menjadi mayat bertaring. Tapi aku tak merasakan apa pun. Mengapa? Bukankah seharusnya sakit? Ini tempat yang menanggalkan senyum pada wajah-wajah masa lalu. Ini tempat kebisuan beriak pada air-air genangan. Ini tempat hujan yang putus asa menjemput bianglala.

Tapi aku tlah mati rasa. Telah hambar dimana-mana. Hingga aku menemukan sebuah kepalsuan di pundakmu. Dan matamu menyiratkan ketidakpastian. Kecemburuan yang terlalu. Semuanya sudah menjalar memenuhi jasadku. Aku telah mati rasa, telah mati sia-sia!



Bogor, penghujung Mei 2011
Kepada yang tak pernah kupadamkan rindu, meski semua tlah menjadi abu-abu...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar