Profil

Minggu, 09 Maret 2014

Sitok Srengenge

Saya kenal beliau dari buku antologi puisi pertama yang saya punya. Di sana ada sekitar tiga buah puisinya yang masuk dalam nominasi 100 puisi Indonesia terbaik 2008 (author: Anugerah Sastra Pena Kencana). Betul, saya mengenal beliau hanya sebatas tiga puisi karyanya yang saya sukai. Ketiganya adalah Lembah Lantana (Kompas, 26 Agustus 2007), Lukisan Perempuan (Kompas, 26 Agustus 2007), dan Ruang Singgah (Kompas, 26 Agustus 2007). Dan kebetulan, beliau juga merupakan juri dalam program penganugerahan ini, bersama dengan Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, Apsanti Djokosujatno, Ahmad Tohari, Joko Pinurbo, dan Jamal D. Rahman.

Dan ketika sebuah link tentang kabar kasus yang menimpa beliau, saya setengah tidak percaya. Betapa tidak, seorang budayawan dan penyair terkenal...? Baiklah, memang tidak ada yang tidak mungkin. Saya juga tidak berpihak pada siapa pun. Hanya saja, begitu amat disayangkan jika memang beliau berbuat seperti itu. Dan dari apa yang saya baca, modusnya menggunakan sajak-sajak yang beliau punya. Korban yang ia dekati memang mengaku menyukai sajak-sajak karya beliau. Dan begitulah.

Nah, kan? Betapa puisi atau sajak atau prosa atau mahakarya sastra lainnya begitu memiliki pengaruh yang kuat, terutama dalam kasus ini. Dan beliau telah salah menggunakannya. Siapa sih yang tidak kagum pada penyair terkenal? Penyair yang selama ini sudah menulis banyak sekali karya luar biasa? Budayawan yang dihormati? Aktivis yang telah terlibat dalam banyak kegiatan sastra?

Namun bagaimana pun, sebuah sajak tidak berhak untuk disalahkan. Benar?


Dan ini salah satu puisi karya beliau:


Lembah Lantana

Barisan pokok jati, gelepar angin dini hari,
tanah mengurai cahaya, lenguh lembu betina
Lidah fajar menjilam pelupukmu terpejam,
ekor mimpi tersangkut di rumbing rambut

Dedahan mendedah kelambu kabut,
dalam igau namaku kausebut

Kuhasratkan arus deras dalam tubuhmu yang cadas
demi kularung mimpi-mimpi boyak serupa perahu masa kanak

Bila musim merentang lengan dan langit terpana parasmu yang sentosa,
pinggangmu penuh bunga, burung-burung akan kembali,
bebatang ranggas menolak mati

Di lekuk liku lukamu, di mana dendam terbenam,
keteduhan membalur bilur waktu biru lebam,
sepasang cuping hidung saling singgung

Bagai rerajut rumput dan lumut, hidup dan maut bersipagut,
gairah mendesing dari reruntuk puing, ingatan lekang
bersalin kelopak-kelopak jingga bemerkahan

Ketika kelam kelaminmu menghisap gempita gempa
ke rahim sunyi dini hari, kudengar angin menggelepar di pepokok jati

Lalu lenguhmu
selembut lembu

Tanah kuyup,
cahaya redup


Sitok Srengenge, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar