Sekian
musim yang aku saksikan dalam setiap jemarimu yang kerap gemetar. Jemari yang
menyentuhkan hangatnya pada pundakku yang berguncang pelan. Sekian musim yang
turun di lembah terdalam, tempat pecundang mematahkan ranting-ranting yang
tersambung pada hati dan air mata. Dan daunan gugur, dan sekuat tenaga hatiku
mencegah setiap air mata luruh dari perkara yang tak terhindari.
Kepada
cinta, aku sebutkan setiap lara yang mengganggu pikirku. Kepada cinta aku
keluhkan setiap nafas yang merebut nafasku. Dan musim mulai memudarkan warnamu.
Satu ranting yang patah akan menggugurkan ribuan daun.
Ketika
cinta terasa bukan milikku, terasa samar hendak pergi. Saat itulah musim
membanjiri lekuk wajahmu, menenggelamkan setiap keindahan yang terpeta. Dan aku
merasa sesak, bahkan tak sanggup untuk mengeja setiap namamu. Akar-akar waktu
mencari batasnya pada ruang-ruang dalam hatiku.
Aku
belajar untuk tidak menangis, sebenarnya. Tapi kepadamu kuperlihatkan setiap
perih, kepadamu kuperlihatkan setiap pedih. Kepadamu, kepada cinta, kukatakan
sekian perasaan saat ranting menggugurkan daunan. Kemudian sungai di antara
jemarimu akan membawaku pada sebuah kenyataan bahwa musim belum benar berakhir.
Musim
mendingin. Aku hanya ingin setiap matamu mempercayai cahaya yang aku buat untuk
mengusir cemas dari masing-masing ketakutan kita. Kamu tak banyak bicara. Aku
meraih segala yang dapat kugenggam dan kutanamkan dalam lubang hati. Supaya
tumbuh dalam musim yang bermekaran.
Kamu
yang selalu ada bersamaku, dengan setiap jemari yang gemetar manahan sesak
nafasku. Bertahanlah bersama musim yang menghangat di tanganmu.
Dan
jangan pergi.
Meditria, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar